Cinta dan Ikhlas

Penulis : Shella Anggreani
HMI Komisariat Unihaz

Ikhlas, jika dalam lisan adalah kata yang begitu mudah untuk terucapkan, namun sulit untuk dilaksanakan. Karena ikhlas itu hakikatnya adalah urusan hati. Ikhlas adalah suatu bentuk kerelaan hati yang didalamnya tidak adanya penyakit hati.

Secara bahasa , Ikhlas bermakna bersih dari kotoran dan menjadikan sesuatu bersih dari kotoran. Sedangkan secara istilah, Ikhlas berarti niat dengan mengharap ridha Allah saja dalam beramal tanpa menyekutukan-Nya dengan yang lain.

Ada pula yang mengatakan ikhlas ialah membersihkan amalan dari ingin mencari perhatian manusia. Sebagian lagi ada yang mendefinisikan bahwa orang yang ikhlas ialah orang yang tidak memperdulikan meskipun seluruh penghormatan dan penghargaan hilang dari dirinya dan berpindah kepada orang lain, karena ingin memperbaiki hatinya hanya untuk Allah semata dan ia tidak senang jikalau amalan yang ia lakukan diperhatikan oleh orang, walaupun perbuatan itu sederhana.

Oleh karena itu, bagi seorang muslim sejati makna ikhlas adalah ketika ia mengarahkan seluruh perkataan, perbuatan, dan jihadnya hanya untuk Allah, mengharap ridha-Nya, dan kebaikan pahala-Nya tanpa melihat pada kekayaan dunia, tampilan, kedudukan, kemajuan atau kemunduran. Dengan demikian, Muslim tersebut menjadi tentara fikrah dan aqidah, bukan tentara dunia dan kepentingan. Katakanlah: “Sesungguhnya shalatku, ibadahku, hidupku dan matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan semesta alam. Tiada sekutu bagiNya; dan demikian itulah yang diperintahkan kepadaku dan aku adalah orang yang pertama-tama berserah diri (muslim).” (QS. Al-An’aam [6]: 162) Dan yang berkarakter seperti itulah yang mempunyai semboyan “Allahu Ghayaatunaa” , yang artinya Allah adalah tujuan kami, dalam segala aktivitas dalam mengisi kehidupan.

Kedudukan iklas

Rasulullah SAW. pernah bersabda,

“Ikhlaslah dalam beragama, cukup bagimu amal yang sedikit.”

Ditanya Sahl bin Abdullah At-Tusturi, Apa yang paling berat bagi nafsu? Ia menjawab: “Ikhlas, karena dengan demikian nafsu tidak memiliki tempat dan bagian lagi.” Berkata Sufyan Ats-Tsauri: “Tidak ada yang paling berat untuk kuobati daripada niatku, karena ia selalu berubah-ubah.”

Ikhlas adalah melakukan amal, baik perkataan maupun perbuatan ditujukan untuk Allah Ta’ala semata. Allah SWT dalam Al-Qur’an memerintahkan kita untuk ikhlas, seperti dalam firmanNya (yang artinya): “dan (aku telah diperintah): “Hadapkanlah wajahmu kepada agama dengan tulus dan ikhlas, dan jangan sekali-kali kamu termasuk orang yang musyrik.” (QS. Yunus [10] : 105)

Rasulullah SAW, juga mengingatkan kita melalui sabdanya (yang artinya), “Allah tidak menerima amal kecuali apabila dilaksanakan dengan ikhlas untuk mencari ridha Allah semata.” (HR. Abu Daud dan Nasa’i)

Imam Ali bin Abu Thalib r.a juga berkata, “orang yang ikhlas adalah orang yang memusatkan pikirannya agar setiap amal diterima oleh Allah.”

Ikhlas adalah buah dan intisari dari iman. Seseorang tidak dianggap beragama dengan benar jika tidak ikhlas. Firman Allah SWT (yang artinya): Katakanlah (Muhammad): “Sesungguhnya shalatku, ibadahku, hidupku dan matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan seluruh alam.” (QS. al-An’aam [6]: 162)

Allah SWT juga berfirman dalam ayat lain (yang artinya), “Padahal mereka hanya diperintah menyembah Allah, dengan ikhlas menaatiNya semata-mata karena (menjalankan) agama, dan juga agar melaksanakan shalat dan menjalankan zakat; dan yang demikian itulah agama yang lurus (benar).” (QS. al-Bayyinah [98]: 5)

Imam Syafi’i pernah memberi nasihat kepada seorang temannya, “Wahai Abu Musa, jika engkau berijtihad dengan sebenar-benar kesungguhan untuk membuat seluruh manusia ridha (suka), maka itu tidak akan terjadi. Jika demikian, maka ikhlaskan amalmu dan niatmu karena Allah Azza wa Jalla.”

Tidak heran Ibnu Qayyim al-Jauziyah memberi perumpamaan bahwasanya, “Amal tanpa keikhlasan seperti musafir yang mengisi kantong dengan kerikil pasir. Memberatkannya tapi tidak bermanfaat.” Dalam kesempatan lain beliau menulis, “Jika ilmu bermanfaat tanpa amal, maka tidak mungkin Allah mencela para pendeta ahli Kitab. Jika ilmu bermanfaat tanpa keikhlasan, maka tidak mungkin Allah mencela orang-orang munafik.”

Ikhlas merupakan hakikat dari agama dan kunci dakwah para rasul Shallallaahu ‘alaihi wa Salam. Allah Subhannahu wa Ta’ala berfirman, artinya: “Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan keta’atan (ikhlas) kepada-Nya dalam (menjalankan) agama yang lurus, dan supaya merekamendirikan shalat dan meunaikan zakat; dan yang demikian itulah agama yang lurus.” (QS. 98:5)

Juga firmanNya yang lain, artinya: “Yang menjadikan mati dan hidup, supaya Dia menguji kamu, siapa diantara kamu yang lebih baik amalnya.” (QS. 67:2)

Berkata Al Fudhail (Ibnu Iyadl, penj), makna dari kata ahsanu ‘amala (lebih baik amalnya) adalah akhlasuhu wa Ashwabuhu, yang lebih ikhlas dan lebih benar (sesuai tuntunan).

Diriwayatkan dari Abu Hurairah Radhiallaahu anhu beliau berkata: “Aku mendengar Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa Salam bersabda, Allah Subhannahu wa Ta’ala berfirman, artinya: “Aku adalah Tuhan yang tidak membutuhkan persekutuan, barang siapa melakukan suatu perbuatan yang di dalamnya menyekutukan Aku dengan selainKu maka Aku tinggalkan dia dan juga sekutunya.” (HR. Muslim)

Oleh karenanya suatu ketaatan apapun bentuknya jika dilakukan dengan tidak ikhlas dan jujur terhadap Allah, maka amalan itu tidak ada nilainya dan tidak berpahala, bahkan pelakunya akan menghadapi ancaman Allah yang sangat besar. Sebagaimana dalam hadits, bahwa manusia pertama yang akan diadili pada hari kiamat nanti adalah orang yang mati syahid, namun niatnya dalam berperang adalah agar disebut pemberani. Orang kedua yang diadili adalah orang yang belajar dan mengajarkan ilmu serta mempelajari Al Qur’an, namun niatnya supaya disebut sebagai qori’ atau alim. Dan orang ketiga adalah orang yang diberi keluasan rizki dan harta lalu ia berinfak dengan harta tersebut akan tetapi tujuannya agar disebut sebagai orang yang dermawan. Maka ketiga orang ini bernasib sama, yakni dimasukkan kedalam Neraka. (na’udzu billah min dzalik).

Dari beberapa contoh hadist di atas menunjukkan bahwa ikhlas itu memang sangat penting bagi umat muslim dalam melaksanakan ibadah, karena tanpa rasa ikhlas dan hanya mengharap ridho dari Allah SWT ibadah kita tidak akan diterima oleh Allah.

Manfaat dan keutamaan iklas

1. Membuat hidup menjadi tenang dan tenteram.

2. Amal ibadah kita akan diterima oleh Allah SWT.

3. Dibukanya pintu ampunan dan dihapuskannya dosa serta dijauhkan dari api neraka.

4. Diangkatnya derajat dan martabat oleh Allah SWT.

5. Do’a kita akan diijabah oleh Allah SWT.

6. Dekat dengan pertolongan Allah SWT.

7. Mendapatkan perlindungan dari Allah SWT.

8. Akan mendapatkan naungan dari Allah SWT di hari kiamat.

9. Allah SWT akan memberi hidayah (petunjuk) sehingga tidak tersesat ke jalan yang salah.

10. Allah akan membangunkan sebuah rumah untuk orang-orang yang ikhlas dalam membangun masjid.

11. Mudah dalam memaafkan kesalahan orang lain

12. Dapat memiliki sifat zuhud (menerima dengan apa adanya yang diberikan oleh Allah SWT).

Klarifikasi

1. Iklhas Mubtadi’ : Yakni orang yang beramalkarena Allah, tetapi di dalam hatinya terbesit keinginan pada dunia. Ibadahnya dilakukan hanya untuk menghilangkan kesulitan dan kebingunan. Ia melaksanakan shalat tahajud dan bersedekah karena ingin usahanya berhasil. Ciri orang yang mubtadi’ bisa terlihat dari cara dia beribadah. Orang yang hanya beribadah ketika sedang butuh biasanya ia tidak akan istiqomah. Ia beribadah ketika ada kebutuhan. Jika kebutuhannya sudah terpenuhi, ibadahnya pun akan berhenti.

2. Ikhlas Abid: Yakni orang yang beramal karena Allah dan hatinya bersih daririya’ serta keinginan dunia. Ibadahnya dilakukan hanya karena Allah dan demi meraih kebahagiaan akhirat, menggapai surga, takut neraka, dengan dibarengi keyakinan bahwa amal ini bisa menyelamatkan dirinya dari siksaan api neraka. Ibadah seorang abid ini cenderung berkesinambungan, tetapi ia tidak mengetahui mana yang harus dilakukan dengan segera (mudhayyaq) dan mana yang bisa diakhirkan (muwassa’), serta mana yang penting dan lebih penting. Ia menganggap semua ibadah itu adalah sama.

3. Ikhlas Muhibb : Yakni orang yang beribadah hanya karena Allah, bukan ingin surga atau takut neraka. Semuanya dilakukan karena bakti dan memenuhi perintah dan mengagungkan-Nya.

4. Ikhlas Arif : Yakni orang yang dalam ibadahnya memiliki perasaan bahwa ia digerakkan Allah. Ia merasa bahwa yang beribadah itu bukanlah dirinya. Ia hanya menyaksikan ia sedang digerakkan Allah karena memiliki keyakinan bahwa tidak memiliki daya dan upaya melaksanakan ketaatan dan meninggalkan kemaksiatan. Semuanya berjalan atas kehendak Allah.

Ciri2 orang yang iklas

1. Senantiasa beramal dan bersungguh-sungguh dalam beramal, baik dalam keadaan sendiri atau bersama orang banyak, baik ada pujian ataupun celaan. Perjalanan waktulah yang akan menentukan seorang itu ikhlas atau tidak dalam beramal. Dengan melalui berbagai macam ujian dan cobaan, baik suka maupun duka, seorang akan terlihat kualitas keikhlasannya dalam beribadah, berdakwah, dan berjihad. Ali bin Abi Thalib r.a. berkata, “Orang yang riya memiliki beberapa ciri; malas jika sendirian dan rajin jika di hadapan banyak orang. Semakin bergairah dalam beramal jika dipuji dan semakin berkurang jika dicela.”

2. Terjaga dari segala yang diharamkan Allah, baik dalam keadaan bersama manusia atau jauh dari mereka. Disebutkan dalam hadits, “Aku beritahukan bahwa ada suatu kaum dari umatku datang di hari kiamat dengan kebaikan seperti Gunung Tihamah yang putih, tetapi Allah menjadikannya seperti debu-debu yang beterbangan. Mereka adalah saudara-saudara kamu, dan kulitnya sama dengan kamu, melakukan ibadah malam seperti kamu. Tetapi mereka adalah kaum yang jika sendiri melanggar yang diharamkan Allah.” (HR Ibnu Majah). Tujuan yang hendak dicapai orang yang ikhlas adalah ridha Allah, bukan ridha manusia. Sehingga, mereka senantiasa memperbaiki diri dan terus beramal, baik dalam kondisi sendiri atau ramai, dilihat orang atau tidak, mendapat pujian atau celaan. Karena mereka yakin Allah Maha melihat setiap amal baik dan buruk sekecil apapun.

3. Dalam dakwah, akan terlihat bahwa seorang da’i yang ikhlas akan merasa senang jika kebaikan terealisasi di tangan saudaranya sesama da’i, sebagaimana dia juga merasa senang jika terlaksana oleh tangannya. Para dai yang ikhlas akan menyadari kelemahan dan kekurangannya. Oleh karena itu mereka senantiasa membangun amal jama’i dalam dakwahnya. Senantiasa menghidupkan syuro dan mengokohkan perangkat dan sistem dakwah. Berdakwah untuk kemuliaan Islam dan umat Islam, bukan untuk meraih popularitas dan membesarkan diri atau lembaganya semata.

4. Tidak mencari populartias dan tidak menonjolkan diri.

5. Tidak silau dan cinta jabatan.

6. Tidak diperbudak imbalan dan balas budi.

7. Tidak mudah kecewa.

8. Yang terakhir adalah Jika anda istiqomah dalam menghafal Al-Qur’an, maka anda termasuk orang-orang yang ikhlas dan jujur dan sungguh Allah akan senantiasa membantu perjuangan anda.

Cara mencapai Keiklasan

Cara agar kita dapat mencapai rasa ikhlas adalah dengan mengosongkan pikiran disaat kita sedang beribadah kepada Allah SWT. Kita hanya memikirkan Allah, shalat untuk Allah, zikir untuk Allah, semua amal yang kita lakukan hanya untuk Allah. Lupakan semua urusan duniawi, kita hanya tertuju pada Allah. Jangan munculkan rasa riya’ atau sombong di dalam diri kita karena kita tidak berdaya di hadapan Allah SWT. Rasakanlah Allah berada di hadapan kita dan sedang menyaksikan kita. Insya Allah dengan cara tersebut keikhlasan dapat dicapai. Dan jangan lupa untuk berdo’a memohon kepada Allah SWT agar kita dapat beribadah secara ikhlas untuk-Nya, sebagaimana do’a Nabi Ibrahim a.s, ”Sesungguhnya jika Rabb-ku tidak memberi hidayah kepadaku, pastilah aku termasuk orang-orang yang sesat.” (QS. al An’aam: 77).

Perusak - perusak keiklasan

Ada beberapa hal yang bisa merusak keikhlasan yaitu:

· Riya’ ialah memperlihatkan suatu bentuk ibadah dengan tujuan dilihat manusia, lalu orang-orangpun memujinya. Terdapat bentuk detail dari perbuatan riya’ yang sangat tersembunyi, atau disebut dengan riya’ khafiy’ yaitu:

1. Seseorang sudah secara diam-diam melakukan ketaatan yang ia tidak ingin menampakkannya dan tidak suka jika diketahui oleh banyak orang, akan tatapi bersamaan dengan itu ia menyukai kalau orang lain mendahului salam terhadapnya, menyambutnya dengan ceria dan penuh hormat, memujinya, segera memenuhi keinginannya, diperlakukan lain dalam jual beli (diistimewakan), dan diberi keluasan dalam tempat duduk. Jika itu semua tidak iadapatkan ia merasa ada beban yang mengganjal dalam hatinya, seolah-olah dengan ketaatan yang ia sembunyikan itu ia mengharapkan agar orang selalu menghormatinya.

2. Menjadikan ikhlas sebagai wasilah (sarana) bukan maksud dan tujuan. Syaikhul Islam telah memperingatkan dari hal yang tersembunyi ini, beliau berkata: “Dikisahkan bahwa Abu Hamid AlGhazali ketika sampai kepadanya, bahwa barangsiapa yang berbuat ikhlas semata-mata karena Allah selama empat puluh hari maka akan memancar hikmah dalam hati orang tersebut melalui lisanya (ucapan)” , berkata Abu Hamid: “Maka aku berbuat ikhlas selama empat puluh hari, namun tidak memancar apa-apa dariku, lalu kusampaikan hal ini kepada sebagian ahli ilmu, maka ia berkata: “Sesungguhnya kamu ikhlas hanya untuk mendapatkan hikmah, dan ikhlasmu itu bukan karena Allah semata.” Kemudian Ibnu Taymiyah berkata: “Hal ini dikarenakan manusia terkadang ingin disebut ahli ilmu dan hikmah, dihormati dan dipuji manusia, dan lain-lain, sementara ia tahu bahwa untuk medapatkan semua itu harus dengan cara ikhlas karena Allah. Jika ia menginginkan tujuan pribadi tapi dengan cara berbuat ikhlas karena Allah, maka terjadilah dua hal yang saling bertentangan. Dengan kata lain, Allah di sini hanya dijadikan sebagai sarana saja, sedang tujuannya adalah selain Allah.”

3. Yaitu apa yang diisyaratkan Ibnu Rajab beliau berkata: “Ada satu hal yang sangat tersembunyi, yaitu terkadang seseorang mencela dan menjelek-jelekan dirinya dihadapan orang lain dengan tujuan agar orang tersebut menganggapnya sebagai orang yang tawadhu’ dan merendah, sehingga dengan itu orang justru mengangkat dan memujinya. Ini merupakan pintu riya’ yang sangat tersembunyi yang selalu diperingatkan oleh para salafus shaleh.”

· Sum’ah, yaitu beramal dengan tujuan untuk didengar oleh orang lain (mencari popularitas).

· ‘Ujub, masih termasuk kategori riya’ hanya saja Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah membedakan keduanya dengan mengatakan bahwa: “Riya’ masuk didalam bab menyekutukan Allah dengan makhluk, sedang ujub masuk dalam bab menyekutukan Allah dengan diri sendiri. (Al fatawaa, 10/277)

Contoh implementasi keiklasan

Dikisahkan oleh seorang pemuda ketika ia berada di salah satu supermarket di Mekah. Saat ia sedang mengantri di kasir untuk membayar apa yang hendak dibelinya, di depannya terdapat seorang wanita bersama dua putri kecilnya dan tepat di belakang mereka dan didepannya terdapat seorang pemuda. Ketika wanita bersama dua putri kecilnya itu hendak membayar apa yang dibelinya seharga 145 real, sang wanita memasukkan tangannya ke tas kecilnya untuk mencari-cari uang, ternyata ia hanya mendapatkan pecahan 50 realan dan beberapa lembar pecahan sepuluhan realan. Ia juga melihat kedua putrinya juga sibuk mengumpulkan uang pecahan realan milik mereka berdua hingga akhirnya terkumpulah uang mereka 125 real. Maka terlihatlah ibu mereka berdua kebingungan dan mulailah sang ibu mengembalikan sebagian barang-barang yang telah dibelinya. Salah seorang putrinya berkata, “Bu, yang ini kami tidak jadi beli, tidak penting bu” .

Tiba-tiba Ia melihat sang pemuda yang berdiri persis di belakang mereka melemparkan selembar uang 50 realan di samping sang wanita dengan sembunyi-sembunyi dan cepat. Lalu sang pemuda tersebut segera berbicara kepada sang wanita dengan penuh kesopanan dan ketenangan seraya berkata, “Ukhti, perhatikan, mungkin uang 50 realan ini jatuh dari tas kecilmu”.

Lalu sang pemuda menunduk dan mengambil uang 50 realan tersebut dari lantai lalu ia berikan kepada sang wanita. Sang wanitapun berterima kasih kepadanya lalu melanjutkan pembayaran barang ke kasir, kemudian wanita itupun pergi.

Setelah sang pemuda menyelesaikan pembayaran barang belanjaannya di kasir iapun segera pergi tanpa melirik ke belakang seakan-akan ia kabur melarikan diri. Pemuda inipun segera menyusulnya lalu ia berkata, “Akhi. sebentar dulu!, aku ingin berbicara denganmu sebentar” . Lalu ia bertanya kepadanya, “Demi Allah, bagaimana kau punya ide yang cepat dan cemerlang seperti tadi?”

Tentunya pada mulanya sang pemuda berusaha mengingkari apa yang telah ia lakukan, akan tetapi setelah pemuda ini kabarkan kepadanya bahwa ia telah menyaksikan semuanya, dan ia menenangkannya dan menjelaskan bahwasanya ia bukanlah penduduk Mekah, ia hanya menunaikan ibadah umroh dan ia akan segera kembali ke negerinya, dan kemungkinan besar ia tidak akan melihatnya lagi. Lalu pemuda tersebutpun berkata,

“Saudaraku, demi Allah aku tadi bingung juga, apa yang harus aku lakukan, selama dua menit tatkala sang wanita dan kedua putrinya berusaha mengumpulkan uang mereka untuk membayar kasir, akan tetapi Robmu Allah subhaanahu wa ta’aala mengilhamkan kepadaku apa yang telah aku lakukan tadi, agar aku tidak menjadikan sang wanita malu di hadapan kedua putrinya. Demi Allah, saya mohon agar engkau tidak bertanya-tanya lagi dan biarkan aku pergi” . Aku berkata kepadanya, “Wahai saudaraku, aku berharap engkau termasuk dari orang-orang yang Allah berfirman tentang mereka: “Adapun orang yang memberikan (hartanya di jalan Allah) dan bertakwa, dan membenarkan adanya pahala yang terbaik (syurga), maka Kami kelak akan menyiapkan baginya jalan yang mudah” (QS Al-Lail 5-7)

Lalu sang pemuda itupun menangis, lalu meminta izin kepada pemuda ini dan berjalan menuju mobilnya sambil menutup wajahnya.

Menurut yulkhan alfiansyah Cinta dan Iklas. Dalam mencintai dan dicintai kita harus mengutamakan keikhlasan. Mencintai seseorang karena kelebihan dan keistimewaan tidaklah seindah yang dibayangkan. Ikhlas dalam hal ini berarti kita harus iklas mencintai dengan apa adanya dan dengan kesiapan hati seutuhnya untuk dikecewakan, untuk disakiti, dan memahami cintai itu tidak selamanya indah dan bahagia. Jika kita mencintai seseorang, cintailah dia dengan sederhana dan kesiapan hati untuk dikecewakan. Jika suatu saat kita tidak mendapatkan cintanya janganlah mengeluh dan berhenti untuk berjalan, namun kita harus tetap tegar dalam menghadapainya dan mengutamakan sebuah kata ikhlas. Tapi apakah kita dapat melaksanakan keikhlasan ini, dapatkah kita mengikhlaskan orang yang kita cintai untuk pergi dari kehidupan kita ?

Maka cintailah orang yang kita cintai itu karena allah, ikhlas karena allah. Untuk orang muslim telah dijelaskan didalam Al-Quran surat Al-Ikhlas, dalam ayat “ ALLAHUSHOMAD” yang terdapat di ayat surat Al-Ikhlas tersebut mempunyai arti ( Allah satu-satunya tempat bergantung) ini merupakan initi dari ikhlas itu sendiri.

Jadi Kesimpulannya
Iklas yaitu suatu Kerelaan hati terhadap sesuatu, serta melakukan nya dengan tulus tampa adanya suatu maksud tujuan tertentu,,,

Jika dalam Cinta Yaitu Iklas Mencintai dengan sepenuh hati tampa memandang apapun yang dimiliki serta Tulus tampa adanya maksud tertentu ,serta menerima kekurangan yang ada pada dirinya .

Iklas Menurut Islam
  Ikhlas, jika dalam lisan adalah kata yang begitu mudah untuk terucapkan, namun sulit untuk dilaksanakan. Karena ikhlas itu hakikatnya adalah urusan hati. Ikhlas adalah suatu bentuk kerelaan hati yang didalamnya tidak adanya penyakit hati.

.
Secara bahasa , Ikhlas bermakna bersih dari kotoran dan menjadikan sesuatu bersih dari kotoran. Sedangkan secara istilah, Ikhlas berarti niat dengan mengharap ridha Allah saja dalam beramal tanpa menyekutukan-Nya dengan yang lain.

Ada pula yang mengatakan ikhlas ialah membersihkan amalan dari ingin mencari perhatian manusia. Sebagian lagi ada yang mendefinisikan bahwa orang yang ikhlas ialah orang yang tidak memperdulikan meskipun seluruh penghormatan dan penghargaan hilang dari dirinya dan berpindah kepada orang lain, karena ingin memperbaiki hatinya hanya untuk Allah semata dan ia tidak senang jikalau amalan yang ia lakukan diperhatikan oleh orang, walaupun perbuatan itu sederhana.

Oleh karena itu, bagi seorang muslim sejati makna ikhlas adalah ketika ia mengarahkan seluruh perkataan, perbuatan, dan jihadnya hanya untuk Allah, mengharap ridha-Nya, dan kebaikan pahala-Nya tanpa melihat pada kekayaan dunia, tampilan, kedudukan, kemajuan atau kemunduran. Dengan demikian, Muslim tersebut menjadi tentara fikrah dan aqidah, bukan tentara dunia dan kepentingan. Katakanlah: “Sesungguhnya shalatku, ibadahku, hidupku dan matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan semesta alam. Tiada sekutu bagiNya; dan demikian itulah yang diperintahkan kepadaku dan aku adalah orang yang pertama-tama berserah diri (muslim).” (QS. Al-An’aam [6]: 162) Dan yang berkarakter seperti itulah yang mempunyai semboyan “Allahu Ghayaatunaa” , yang artinya Allah adalah tujuan kami, dalam segala aktivitas dalam mengisi kehidupan.

Kedudukan iklas

Rasulullah SAW. pernah bersabda,

“Ikhlaslah dalam beragama, cukup bagimu amal yang sedikit.”

Ditanya Sahl bin Abdullah At-Tusturi, Apa yang paling berat bagi nafsu? Ia menjawab: “Ikhlas, karena dengan demikian nafsu tidak memiliki tempat dan bagian lagi.” Berkata Sufyan Ats-Tsauri: “Tidak ada yang paling berat untuk kuobati daripada niatku, karena ia selalu berubah-ubah.”

Ikhlas adalah melakukan amal, baik perkataan maupun perbuatan ditujukan untuk Allah Ta’ala semata. Allah SWT dalam Al-Qur’an memerintahkan kita untuk ikhlas, seperti dalam firmanNya (yang artinya): “dan (aku telah diperintah): “Hadapkanlah wajahmu kepada agama dengan tulus dan ikhlas, dan jangan sekali-kali kamu termasuk orang yang musyrik.” (QS. Yunus [10] : 105)

Rasulullah SAW, juga mengingatkan kita melalui sabdanya (yang artinya), “Allah tidak menerima amal kecuali apabila dilaksanakan dengan ikhlas untuk mencari ridha Allah semata.” (HR. Abu Daud dan Nasa’i)

Imam Ali bin Abu Thalib r.a juga berkata, “orang yang ikhlas adalah orang yang memusatkan pikirannya agar setiap amal diterima oleh Allah.”

Ikhlas adalah buah dan intisari dari iman. Seseorang tidak dianggap beragama dengan benar jika tidak ikhlas. Firman Allah SWT (yang artinya): Katakanlah (Muhammad): “Sesungguhnya shalatku, ibadahku, hidupku dan matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan seluruh alam.” (QS. al-An’aam [6]: 162)

Allah SWT juga berfirman dalam ayat lain (yang artinya), “Padahal mereka hanya diperintah menyembah Allah, dengan ikhlas menaatiNya semata-mata karena (menjalankan) agama, dan juga agar melaksanakan shalat dan menjalankan zakat; dan yang demikian itulah agama yang lurus (benar).” (QS. al-Bayyinah [98]: 5)

Imam Syafi’i pernah memberi nasihat kepada seorang temannya, “Wahai Abu Musa, jika engkau berijtihad dengan sebenar-benar kesungguhan untuk membuat seluruh manusia ridha (suka), maka itu tidak akan terjadi. Jika demikian, maka ikhlaskan amalmu dan niatmu karena Allah Azza wa Jalla.”

Tidak heran Ibnu Qayyim al-Jauziyah memberi perumpamaan bahwasanya, “Amal tanpa keikhlasan seperti musafir yang mengisi kantong dengan kerikil pasir. Memberatkannya tapi tidak bermanfaat.” Dalam kesempatan lain beliau menulis, “Jika ilmu bermanfaat tanpa amal, maka tidak mungkin Allah mencela para pendeta ahli Kitab. Jika ilmu bermanfaat tanpa keikhlasan, maka tidak mungkin Allah mencela orang-orang munafik.”

Ikhlas merupakan hakikat dari agama dan kunci dakwah para rasul Shallallaahu ‘alaihi wa Salam. Allah Subhannahu wa Ta’ala berfirman, artinya: “Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan keta’atan (ikhlas) kepada-Nya dalam (menjalankan) agama yang lurus, dan supaya merekamendirikan shalat dan meunaikan zakat; dan yang demikian itulah agama yang lurus.” (QS. 98:5)

Juga firmanNya yang lain, artinya: “Yang menjadikan mati dan hidup, supaya Dia menguji kamu, siapa diantara kamu yang lebih baik amalnya.” (QS. 67:2)

Berkata Al Fudhail (Ibnu Iyadl, penj), makna dari kata ahsanu ‘amala (lebih baik amalnya) adalah akhlasuhu wa Ashwabuhu, yang lebih ikhlas dan lebih benar (sesuai tuntunan).

Diriwayatkan dari Abu Hurairah Radhiallaahu anhu beliau berkata: “Aku mendengar Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa Salam bersabda, Allah Subhannahu wa Ta’ala berfirman, artinya: “Aku adalah Tuhan yang tidak membutuhkan persekutuan, barang siapa melakukan suatu perbuatan yang di dalamnya menyekutukan Aku dengan selainKu maka Aku tinggalkan dia dan juga sekutunya.” (HR. Muslim)

Oleh karenanya suatu ketaatan apapun bentuknya jika dilakukan dengan tidak ikhlas dan jujur terhadap Allah, maka amalan itu tidak ada nilainya dan tidak berpahala, bahkan pelakunya akan menghadapi ancaman Allah yang sangat besar. Sebagaimana dalam hadits, bahwa manusia pertama yang akan diadili pada hari kiamat nanti adalah orang yang mati syahid, namun niatnya dalam berperang adalah agar disebut pemberani. Orang kedua yang diadili adalah orang yang belajar dan mengajarkan ilmu serta mempelajari Al Qur’an, namun niatnya supaya disebut sebagai qori’ atau alim. Dan orang ketiga adalah orang yang diberi keluasan rizki dan harta lalu ia berinfak dengan harta tersebut akan tetapi tujuannya agar disebut sebagai orang yang dermawan. Maka ketiga orang ini bernasib sama, yakni dimasukkan kedalam Neraka. (na’udzu billah min dzalik).

Dari beberapa contoh hadist di atas menunjukkan bahwa ikhlas itu memang sangat penting bagi umat muslim dalam melaksanakan ibadah, karena tanpa rasa ikhlas dan hanya mengharap ridho dari Allah SWT ibadah kita tidak akan diterima oleh Allah.

Manfaat dan keutamaan iklas

1. Membuat hidup menjadi tenang dan tenteram.

2. Amal ibadah kita akan diterima oleh Allah SWT.

3. Dibukanya pintu ampunan dan dihapuskannya dosa serta dijauhkan dari api neraka.

4. Diangkatnya derajat dan martabat oleh Allah SWT.

5. Do’a kita akan diijabah oleh Allah SWT.

6. Dekat dengan pertolongan Allah SWT.

7. Mendapatkan perlindungan dari Allah SWT.

8. Akan mendapatkan naungan dari Allah SWT di hari kiamat.

9. Allah SWT akan memberi hidayah (petunjuk) sehingga tidak tersesat ke jalan yang salah.

10. Allah akan membangunkan sebuah rumah untuk orang-orang yang ikhlas dalam membangun masjid.

11. Mudah dalam memaafkan kesalahan orang lain

12. Dapat memiliki sifat zuhud (menerima dengan apa adanya yang diberikan oleh Allah SWT).

Klarifikasi

1. Iklhas Mubtadi’ : Yakni orang yang beramalkarena Allah, tetapi di dalam hatinya terbesit keinginan pada dunia. Ibadahnya dilakukan hanya untuk menghilangkan kesulitan dan kebingunan. Ia melaksanakan shalat tahajud dan bersedekah karena ingin usahanya berhasil. Ciri orang yang mubtadi’ bisa terlihat dari cara dia beribadah. Orang yang hanya beribadah ketika sedang butuh biasanya ia tidak akan istiqomah. Ia beribadah ketika ada kebutuhan. Jika kebutuhannya sudah terpenuhi, ibadahnya pun akan berhenti.

2. Ikhlas Abid: Yakni orang yang beramal karena Allah dan hatinya bersih daririya’ serta keinginan dunia. Ibadahnya dilakukan hanya karena Allah dan demi meraih kebahagiaan akhirat, menggapai surga, takut neraka, dengan dibarengi keyakinan bahwa amal ini bisa menyelamatkan dirinya dari siksaan api neraka. Ibadah seorang abid ini cenderung berkesinambungan, tetapi ia tidak mengetahui mana yang harus dilakukan dengan segera (mudhayyaq) dan mana yang bisa diakhirkan (muwassa’), serta mana yang penting dan lebih penting. Ia menganggap semua ibadah itu adalah sama.

3. Ikhlas Muhibb : Yakni orang yang beribadah hanya karena Allah, bukan ingin surga atau takut neraka. Semuanya dilakukan karena bakti dan memenuhi perintah dan mengagungkan-Nya.

4. Ikhlas Arif : Yakni orang yang dalam ibadahnya memiliki perasaan bahwa ia digerakkan Allah. Ia merasa bahwa yang beribadah itu bukanlah dirinya. Ia hanya menyaksikan ia sedang digerakkan Allah karena memiliki keyakinan bahwa tidak memiliki daya dan upaya melaksanakan ketaatan dan meninggalkan kemaksiatan. Semuanya berjalan atas kehendak Allah.

Ciri2 orang yang iklas

1. Senantiasa beramal dan bersungguh-sungguh dalam beramal, baik dalam keadaan sendiri atau bersama orang banyak, baik ada pujian ataupun celaan. Perjalanan waktulah yang akan menentukan seorang itu ikhlas atau tidak dalam beramal. Dengan melalui berbagai macam ujian dan cobaan, baik suka maupun duka, seorang akan terlihat kualitas keikhlasannya dalam beribadah, berdakwah, dan berjihad. Ali bin Abi Thalib r.a. berkata, “Orang yang riya memiliki beberapa ciri; malas jika sendirian dan rajin jika di hadapan banyak orang. Semakin bergairah dalam beramal jika dipuji dan semakin berkurang jika dicela.”

2. Terjaga dari segala yang diharamkan Allah, baik dalam keadaan bersama manusia atau jauh dari mereka. Disebutkan dalam hadits, “Aku beritahukan bahwa ada suatu kaum dari umatku datang di hari kiamat dengan kebaikan seperti Gunung Tihamah yang putih, tetapi Allah menjadikannya seperti debu-debu yang beterbangan. Mereka adalah saudara-saudara kamu, dan kulitnya sama dengan kamu, melakukan ibadah malam seperti kamu. Tetapi mereka adalah kaum yang jika sendiri melanggar yang diharamkan Allah.” (HR Ibnu Majah). Tujuan yang hendak dicapai orang yang ikhlas adalah ridha Allah, bukan ridha manusia. Sehingga, mereka senantiasa memperbaiki diri dan terus beramal, baik dalam kondisi sendiri atau ramai, dilihat orang atau tidak, mendapat pujian atau celaan. Karena mereka yakin Allah Maha melihat setiap amal baik dan buruk sekecil apapun.

3. Dalam dakwah, akan terlihat bahwa seorang da’i yang ikhlas akan merasa senang jika kebaikan terealisasi di tangan saudaranya sesama da’i, sebagaimana dia juga merasa senang jika terlaksana oleh tangannya. Para dai yang ikhlas akan menyadari kelemahan dan kekurangannya. Oleh karena itu mereka senantiasa membangun amal jama’i dalam dakwahnya. Senantiasa menghidupkan syuro dan mengokohkan perangkat dan sistem dakwah. Berdakwah untuk kemuliaan Islam dan umat Islam, bukan untuk meraih popularitas dan membesarkan diri atau lembaganya semata.

4. Tidak mencari populartias dan tidak menonjolkan diri.

5. Tidak silau dan cinta jabatan.

6. Tidak diperbudak imbalan dan balas budi.

7. Tidak mudah kecewa.

8. Yang terakhir adalah Jika anda istiqomah dalam menghafal Al-Qur’an, maka anda termasuk orang-orang yang ikhlas dan jujur dan sungguh Allah akan senantiasa membantu perjuangan anda.

Cara mencapai Keiklasan

Cara agar kita dapat mencapai rasa ikhlas adalah dengan mengosongkan pikiran disaat kita sedang beribadah kepada Allah SWT. Kita hanya memikirkan Allah, shalat untuk Allah, zikir untuk Allah, semua amal yang kita lakukan hanya untuk Allah. Lupakan semua urusan duniawi, kita hanya tertuju pada Allah. Jangan munculkan rasa riya’ atau sombong di dalam diri kita karena kita tidak berdaya di hadapan Allah SWT. Rasakanlah Allah berada di hadapan kita dan sedang menyaksikan kita. Insya Allah dengan cara tersebut keikhlasan dapat dicapai. Dan jangan lupa untuk berdo’a memohon kepada Allah SWT agar kita dapat beribadah secara ikhlas untuk-Nya, sebagaimana do’a Nabi Ibrahim a.s, ”Sesungguhnya jika Rabb-ku tidak memberi hidayah kepadaku, pastilah aku termasuk orang-orang yang sesat.” (QS. al An’aam: 77).

Perusak - perusak keiklasan

Ada beberapa hal yang bisa merusak keikhlasan yaitu:

· Riya’ ialah memperlihatkan suatu bentuk ibadah dengan tujuan dilihat manusia, lalu orang-orangpun memujinya. Terdapat bentuk detail dari perbuatan riya’ yang sangat tersembunyi, atau disebut dengan riya’ khafiy’ yaitu:

1. Seseorang sudah secara diam-diam melakukan ketaatan yang ia tidak ingin menampakkannya dan tidak suka jika diketahui oleh banyak orang, akan tatapi bersamaan dengan itu ia menyukai kalau orang lain mendahului salam terhadapnya, menyambutnya dengan ceria dan penuh hormat, memujinya, segera memenuhi keinginannya, diperlakukan lain dalam jual beli (diistimewakan), dan diberi keluasan dalam tempat duduk. Jika itu semua tidak iadapatkan ia merasa ada beban yang mengganjal dalam hatinya, seolah-olah dengan ketaatan yang ia sembunyikan itu ia mengharapkan agar orang selalu menghormatinya.

2. Menjadikan ikhlas sebagai wasilah (sarana) bukan maksud dan tujuan. Syaikhul Islam telah memperingatkan dari hal yang tersembunyi ini, beliau berkata: “Dikisahkan bahwa Abu Hamid AlGhazali ketika sampai kepadanya, bahwa barangsiapa yang berbuat ikhlas semata-mata karena Allah selama empat puluh hari maka akan memancar hikmah dalam hati orang tersebut melalui lisanya (ucapan)” , berkata Abu Hamid: “Maka aku berbuat ikhlas selama empat puluh hari, namun tidak memancar apa-apa dariku, lalu kusampaikan hal ini kepada sebagian ahli ilmu, maka ia berkata: “Sesungguhnya kamu ikhlas hanya untuk mendapatkan hikmah, dan ikhlasmu itu bukan karena Allah semata.” Kemudian Ibnu Taymiyah berkata: “Hal ini dikarenakan manusia terkadang ingin disebut ahli ilmu dan hikmah, dihormati dan dipuji manusia, dan lain-lain, sementara ia tahu bahwa untuk medapatkan semua itu harus dengan cara ikhlas karena Allah. Jika ia menginginkan tujuan pribadi tapi dengan cara berbuat ikhlas karena Allah, maka terjadilah dua hal yang saling bertentangan. Dengan kata lain, Allah di sini hanya dijadikan sebagai sarana saja, sedang tujuannya adalah selain Allah.”

3. Yaitu apa yang diisyaratkan Ibnu Rajab beliau berkata: “Ada satu hal yang sangat tersembunyi, yaitu terkadang seseorang mencela dan menjelek-jelekan dirinya dihadapan orang lain dengan tujuan agar orang tersebut menganggapnya sebagai orang yang tawadhu’ dan merendah, sehingga dengan itu orang justru mengangkat dan memujinya. Ini merupakan pintu riya’ yang sangat tersembunyi yang selalu diperingatkan oleh para salafus shaleh.”

· Sum’ah, yaitu beramal dengan tujuan untuk didengar oleh orang lain (mencari popularitas).

· ‘Ujub, masih termasuk kategori riya’ hanya saja Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah membedakan keduanya dengan mengatakan bahwa: “Riya’ masuk didalam bab menyekutukan Allah dengan makhluk, sedang ujub masuk dalam bab menyekutukan Allah dengan diri sendiri. (Al fatawaa, 10/277)

Contoh implementasi keiklasan

Dikisahkan oleh seorang pemuda ketika ia berada di salah satu supermarket di Mekah. Saat ia sedang mengantri di kasir untuk membayar apa yang hendak dibelinya, di depannya terdapat seorang wanita bersama dua putri kecilnya dan tepat di belakang mereka dan didepannya terdapat seorang pemuda. Ketika wanita bersama dua putri kecilnya itu hendak membayar apa yang dibelinya seharga 145 real, sang wanita memasukkan tangannya ke tas kecilnya untuk mencari-cari uang, ternyata ia hanya mendapatkan pecahan 50 realan dan beberapa lembar pecahan sepuluhan realan. Ia juga melihat kedua putrinya juga sibuk mengumpulkan uang pecahan realan milik mereka berdua hingga akhirnya terkumpulah uang mereka 125 real. Maka terlihatlah ibu mereka berdua kebingungan dan mulailah sang ibu mengembalikan sebagian barang-barang yang telah dibelinya. Salah seorang putrinya berkata, “Bu, yang ini kami tidak jadi beli, tidak penting bu” .

Tiba-tiba Ia melihat sang pemuda yang berdiri persis di belakang mereka melemparkan selembar uang 50 realan di samping sang wanita dengan sembunyi-sembunyi dan cepat. Lalu sang pemuda tersebut segera berbicara kepada sang wanita dengan penuh kesopanan dan ketenangan seraya berkata, “Ukhti, perhatikan, mungkin uang 50 realan ini jatuh dari tas kecilmu”.

Lalu sang pemuda menunduk dan mengambil uang 50 realan tersebut dari lantai lalu ia berikan kepada sang wanita. Sang wanitapun berterima kasih kepadanya lalu melanjutkan pembayaran barang ke kasir, kemudian wanita itupun pergi.

Setelah sang pemuda menyelesaikan pembayaran barang belanjaannya di kasir iapun segera pergi tanpa melirik ke belakang seakan-akan ia kabur melarikan diri. Pemuda inipun segera menyusulnya lalu ia berkata, “Akhi. sebentar dulu!, aku ingin berbicara denganmu sebentar” . Lalu ia bertanya kepadanya, “Demi Allah, bagaimana kau punya ide yang cepat dan cemerlang seperti tadi?”

Tentunya pada mulanya sang pemuda berusaha mengingkari apa yang telah ia lakukan, akan tetapi setelah pemuda ini kabarkan kepadanya bahwa ia telah menyaksikan semuanya, dan ia menenangkannya dan menjelaskan bahwasanya ia bukanlah penduduk Mekah, ia hanya menunaikan ibadah umroh dan ia akan segera kembali ke negerinya, dan kemungkinan besar ia tidak akan melihatnya lagi. Lalu pemuda tersebutpun berkata,

“Saudaraku, demi Allah aku tadi bingung juga, apa yang harus aku lakukan, selama dua menit tatkala sang wanita dan kedua putrinya berusaha mengumpulkan uang mereka untuk membayar kasir, akan tetapi Robmu Allah subhaanahu wa ta’aala mengilhamkan kepadaku apa yang telah aku lakukan tadi, agar aku tidak menjadikan sang wanita malu di hadapan kedua putrinya. Demi Allah, saya mohon agar engkau tidak bertanya-tanya lagi dan biarkan aku pergi” . Aku berkata kepadanya, “Wahai saudaraku, aku berharap engkau termasuk dari orang-orang yang Allah berfirman tentang mereka: “Adapun orang yang memberikan (hartanya di jalan Allah) dan bertakwa, dan membenarkan adanya pahala yang terbaik (syurga), maka Kami kelak akan menyiapkan baginya jalan yang mudah” (QS Al-Lail 5-7)

Lalu sang pemuda itupun menangis, lalu meminta izin kepada pemuda ini dan berjalan menuju mobilnya sambil menutup wajahnya.

Menurut yulkhan alfiansyah Cinta dan Iklas. Dalam mencintai dan dicintai kita harus mengutamakan keikhlasan. Mencintai seseorang karena kelebihan dan keistimewaan tidaklah seindah yang dibayangkan. Ikhlas dalam hal ini berarti kita harus iklas mencintai dengan apa adanya dan dengan kesiapan hati seutuhnya untuk dikecewakan, untuk disakiti, dan memahami cintai itu tidak selamanya indah dan bahagia. Jika kita mencintai seseorang, cintailah dia dengan sederhana dan kesiapan hati untuk dikecewakan. Jika suatu saat kita tidak mendapatkan cintanya janganlah mengeluh dan berhenti untuk berjalan, namun kita harus tetap tegar dalam menghadapainya dan mengutamakan sebuah kata ikhlas. Tapi apakah kita dapat melaksanakan keikhlasan ini, dapatkah kita mengikhlaskan orang yang kita cintai untuk pergi dari kehidupan kita ?

Maka cintailah orang yang kita cintai itu karena allah, ikhlas karena allah. Untuk orang muslim telah dijelaskan didalam Al-Quran surat Al-Ikhlas, dalam ayat “ ALLAHUSHOMAD” yang terdapat di ayat surat Al-Ikhlas tersebut mempunyai arti ( Allah satu-satunya tempat bergantung) ini merupakan initi dari ikhlas itu sendiri.

Jadi Kesimpulannya
Iklas yaitu suatu Kerelaan hati terhadap sesuatu, serta melakukan nya dengan tulus tampa adanya suatu maksud tujuan tertentu,,,

Jika dalam Cinta Yaitu Iklas Mencintai dengan sepenuh hati tampa memandang apapun yang dimiliki serta Tulus tampa adanya maksud tertentu ,serta menerima kekurangan yang ada pada dirinya .

Komentar

Postingan Populer